Jumat, 18 Mei 2012

Kampung Sawah, sebuah Abstraksi (Bagian I)



Saya cukup tergelitik pada quotes Thomas Jefferson yang di lontarkan oleh salah seorang kawan di fb, “menjadi petani adalah cara terbijak untuk mendapatkan real wealth, good morals, and happiness”. Hal itu mengingatkan saya 10 tahun lalu, ketika sangat kaget pada schedule ketat mahasiswa tingkat awal jurusan arsitektur (jujur saat itu saya beranggapan saya sedang salah jurusan). Pada seorang sahabat saya berkata “jika lulus tidak jadi arsitek, mungkin saya akan jadi petani. Ya, saya akan garap sawah”. Sebuah ungkapan putus asa yang (mungkin) sangat bijak  =p
Bukan tanpa alasan, saya dibesarkan di sebuah rumah yang mana dihalaman depannya tergambar terasering sawah yang sangat indah. Kebetulan juga ibu saya seorang petani.  Proses hidup lahan sawah memberikan efek 4 dimensi dalam memori, mulai dari fase menanam bibit padi, tumbuh menghijau, berubah agak menguning hingga akhirnya menguning keemasan. Sebuah keberuntungan bisa merasakan proses keindahannya.
Namun, ternyata keindahan fisik sepetak sawah tidak sebanding dengan persolan rumit yang  membayanginya di negeri ini. Pemerintah terkesan ogah-ogahan ngurusin pertanian Negara ini. Banyak lahan pertanian, terutama sawah yang beralih menjadi fungsi-fungsi yang tidak semestinya. Masyarakat pun mulai enggan berbicara tentang pertanian, yang artinya profesi petani makin tidak diminati. Revolusi industry rasanya sukses mencengkram di mindset masyarakat kita. Rasanya perlu sangat bijak menjaga keduanya (industry-pertanian) berimbang, ini karena pertanian berkaitan erat pada Ketahanan pangan sebuah Negara. 
  

Ironi Pertanian Indonesia

Semua tahu Indonesia adalah Negara Agraris. Pertanian Indonesia identik dengan Padi, Beras. Beras identik dengan Sawah. Berdasar data ILO 2009, Indonesia merupakan Negara peringkat ke 3 didunia penghasil beras. Ironisnya ketahanan pangan Indonesia masih lemah, terbukti dari impor beras yang dilakukan di tiap tahunnya. Pemerintah tidak lagi mempercayai dan tidak menghargai data produksi beras nasional.  Coba cek tahun 2010 impor beras Indonesia saja mencapai  1,8 juta ton, juga lihat sampai dengan Agustus 2011 impor beras capai 1,62 juta ton. Jumlah yang luar biasa , lalu apa yang salah? rasanya kinerja menteri pertanian tak usah ditanya lagi deh.. 



Fakta lain menunjukkan bahwa penilaian masyarakat Indonesia terhadap pertanian sangat rendah. Hal tersebut membuat gambaran profesi petani menjadi tidak menarik, tidak membanggakan. Masyarakat lebih bangga terhadap hal-hal yang berlabel “industry”. Dan alihfungsi (konversi) lahan pertanian pun terjadi, sawah beralih menjadi kawasan industry, kawasan perumahan dsb. Sayang kebijakan pemerintah masih sangat longgar.  Misalnya, selama tahun 1999-2002 telah terjadi konversi lahan sawah lebih dari 0,56 juta ha dan akibatnya ada beberapa manfaat yang hilang, antara lain produksi beras 2,7 juta ton dan potensi sumberdaya air 526 juta M3 juga  menjadi penyebab banjir di wilayah hilir karena air sejumlah tersebut tidak bisa ditahan lagi oleh lahan pertanian (wilayah). Ya betul sekali, salah satu fungsi sawah yang tak bisa digantikan adalah sebagai konservasi sumber daya air. air yang sudah digunakan pada sawah dapat didaur ulang secara alami. Lahan sawah menerima air dalam bentuk hujan serta irigasi,selanjutnya air yang keluar berbentuk aliran permukaan (run off), penguapan dan evapotranspirasi, sertaperkolasi. air aliran permukaan dan aliran bawah permukaan (sub-surface flow) sebagiannya akan mencapai sungai serta bendungan dan dapat digunakan kembali untuk irigasi. Demikian pula air perkolasi mengisi kembali air tanah dan air tanah ini dapat digunakan kembali untuk berbagai keperluan.
Seketika timbul pertanyaan, jika beras tidak ada kita bisa impor Thailand dsb, nah jika air tanah tidak ada, kita akan impor siapa?

 Mengintip sawah di Jepang
(tulisan dibawah merupakan cuplikan dari Tulisan Fungsi Mitigasi Banjir dan Multifungsi Lahan Sawah, penulis Irawan seorang peneliti Balai Penelitian Tanah,Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. Dimuat pada surat kabar Suara Pembaruan, 23 Juni 2006 )

Sawah di Asuka, Jepang. sumber http://www.greenpacks.org

 Konversi lahan pertanian tanpa memperhitungkan hilangnya daya sangga air akan mengakibatkan banjirkarena kemampuan wilayah untuk menahan dan meresapkan air hujan berkurang, sementara jumlah curah hujan relatif tetap, apalagi kalau bertambah. Kejadian banjir di Jakarta dan kota-kota lainnya, seperti banjir rutin di Bale Endah dan Dayeuh Kolot dan sekitarnya di Kabupaten Bandung pernah terjadi di Kota Tokyo, Jepang tahun 1990-an yang disebabkan oleh pembangunan industri yang mengorbankan lahan sawah sekitar tahun 1980-an (Nishio 1999). Sejak saat itu Pemerintah Jepang melindungi lahan pertanian, khususnya sawah dengan berbagai cara.
Jepang adalah negara industri yang maju dan kaya raya. Tapi dalam soal pertanian, khususnya padi sawah Pemerintah dan masyarakat Jepang tergolong sangat konservatif. Jepang menolak perdagangan bebas bagi komoditas beras. Di Jepang petani padi sawah menjual gabah 285 yen per kg dan berasnya sekitar 350-400 yen per kg.
Jika dibandingkan dengan harga di pasar internasional (FOB Bangkok) harga beras di Jepang lebih mahal 10 kali. Pemerintah dan masyarakat Jepang melindungi petani padi dan lahan sawahnya dari “gempuran” pasar beras internasional dengan berbagai cara, seperti pajak impor beras yang tinggi, bantuan atau pembayaran langsung kepada petani, dan lainnya. Kebanyakan ahli ekonomi, termasuk ekonom Indonesia akan berpendapat Jepang boros alias tidak efisien. Mengapa harus repot menanam padi sendiri padahal Jepang bisa memborong beras yang ada di pasar internasional, bukankah itu lebih murah? Sejatinya Jepang berfilsafat seperti penyair Khairil Anwar ingin hidup seribu tahun lagi, berbeda dengan falsafah ekonom seperti yang dikatakan Keynes bahwa “in the long run we are all died“. Jepang tidak tergiur keuntungan jangka pendek, tetapi lebih mengutamakan kepentingan nasional jangka panjang. Kepedulian Jepang terhadap perlindungan lahan sawah memang luar biasa. Walaupun hanya berada di urutan 10 besar penghasil padi, sementara Indonesia di urutan 3 setelah China dan India, Jepang menjadi pelopor bersama-sama Korea Selatan dan China menolak gerakan global yang diusung oleh negara-negara maju (OECD) untuk mengurangi areal lahan sawah di kawasan Asia karena alasan emisi gas methane. AS, salah satu negara maju tersebut mempunyai sikap mendua, bahkan mencurigakan mengenai padi sawah. Vokal dalam menilai lahan sawah sebagai sumber emisi gas methane, tetapi AS juga melindungi petani padinya dengan subsidi sekitar Rp 5.000/kg.
Mengapa AS repot-repot menanam padi padahal padi bukan bahan makanan utama rakyatnya? Di sisi lain Paman Sam itu berkenan menjual berasnya dengan harga murah di pasar internasional. Boleh jadi, Jepang jeli melihat politik pangan AS. Sesungguhnya negara maju seperti AS sangat konsen terhadap ketahanan pangan untuk rakyatnya, tetapi juga berusaha merebut pasar pangan dunia.

Rasanya cukup absurd ketika tiba-tiba saya membahas masalah pertanian (sawah), sungguh ini bukan karena sarjana pertanian di Indonesia banyak yang banting setir menjadi pegawai bank. Sungguh bukan. Saya sangat sadar (mungkin sedikit galaw), saya tidak berkompeten untuk mencoba membahas problem pertanian dari segi teknis (bertani), ekonomi apalagi politiknya. Saya hanya bisa membahas apa yang saya mengerti, mungkin sedikit dari sudut pandang profesi saya saat ini, yang semoga dapat mewakili bagian dari masyarakat pedesaan yang rumahnya cukup mewah (mepet sawah) tentunya seperti tempat tinggal saya sekarang. Ini semua demi kepedulian terhadap lingkungan dan ketahanan pangan kita (baca: perut). 
Quote saya hari ini : apalah arti arsitektur, jika kita belum makan :)

Salam Sawah Lestari,

Bersambung...

1 komentar:

Software Toko Program Kasir Terbaik mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.