Rabu, 23 Februari 2011

Rumah Udin

Udin teman saya. rumah nya jauh di desa dalam di kota kecil Purworejo. Baru 1 bulan ini ia memberanikan diri keluar dari tempat kerjanya. Baginya akan lebih bahagia jika ia bisa lebih dekat bersama keluarganya di yang tinggal desa. Maklum, selama ini ia mesti bolak balik Jogja-Purworejo demi memiilh kepentingan pekerjaan dan keluarga. Udin dan keluarganya cukup bahagia ketika ia memutuskan untuk berhenti bekerja di jogja, meskipun ketika saya tanya "akan kerja apa kamu din?" ia hanya membalas dengan senyum kuda. Ia masih tidak tahu akan bekerja sebagai apa, tapi dalam benaknya tersirat kalau dia ingin mencoba sebagai petani/peternak, seperti layaknya matapencaharian warga di kampung nya. Seminggu setelah berhenti, Udin menghubungi saya lagi. Ada hal penting katanya. Ternyata ia hanya ingin mengatakan " kowe nduwe gambar umah? sing ukurane 8x6 m?" dahi saya mengkerut.. "ada di pikiran, tenang aja" giliran dahinya mengkerut.. "gak usah, aku mung arep minta desain gambar rumah sing wis dadi wae, ono po ra?" katanya. "hehe wah gak iso din, piye kalo aku rancangkan saja?" dahinya kembali mengkerut, seolah mengatakan orang sepetinya belum mampu mengeluarkan dana utk membayar jasa arsitek. "gratis kok, ini hanya desain rumah kecil" saya tambahkan, beriringan wajahnya yang kembali relaks. Tapi udin masih menanyakan bagaimana Arsitek yang nggak mu di bayar? saya hanya menjawab ini pengabdian profesi...

Arsitektur untuk Kehidupan
" Buat apa sih saya hidup? " ini pertanyaan dasar yang selalu di lontarkan leader saya, yu sing, dalam mencoba memahami kehidupan. Dari pertanyaan tsb saya hanya bisa mengiyakan jika sekarang saat ini saya "terjebak" di dunia per-aristekturan. "Arsitektur untuk apa?" saya hanya bisa jawab "untuk hidup pak.. :D" . dalam presentasinya (bci asia interchange session yogyakarta, juni 2009) yu sing mengatakan bahwa arsitektur hanya sebagian kecil dari ilmu pengetahuan yang ada di bumi. Semua ilmu itu untuk kesejahteraan manusia, termasuk arsitektur . Dan hal ini menegaskan bahwa arsitektur untuk semua kalangan. Dalam diskusinya Eko Prawoto selalu menekankan bahwa Arsitektur jangan dipakai sebagai sebuah tujuan, hal ini hanya akan memperbesar rasa Egosentris yang sangat kuat di dalam diri seorang arsitek. sedangkan esensi kehidupannya hanya selalu mentah pada pencitraan dan fashionable. Sayangnya saat ini Arsitektur masih eksklusif, hanya di peruntukkan untuk kaum menengah ke atas saja. Seolah menjadi sistem. Dan sistem ini merasuk juga pada kaum menengah kebawah, yang kebanyakan malu untuk menyebut arsitektur sebagai solusi terbaik kehidupan bertempat tinggalnya. Seperti halnya Udin, yang saking malu nya untuk meminta jasa arsitek. Padahal arsitektur yang baik sanggup merubah hidup menjadi lebih baik (Sing, 2009).
Ini soal fee. Dua bulan lalu seorang kawan mencoba men-tag saya foto di facebook. Foto sebuah brosur jasa desain yang sanggup melayani harga desain Rp. 5000/meter! banting harga! bagi saya ini hal biasa saja, ini biasa dilakukan oleh teman-teman lulusan STM bangunan dalam menarik kliennya.. terjadi diskusi yang cukup panas karena foto tersebut, yang mensoalkan harga Rp 5000 tsb tidak sesuai dengan standar buku merah IAI. dan saya bingung "kok saya ngga punya buku merah ya? yang saya dapat dari IAI buku biru?? yoweslah pokokmen". Memang ada standar harga ya?? jika harga standar IAI jadi patokan Profesional seorang arsitek, lalu mengapa Mangunwijaya dengan Perbaikan Kampung code nya di akui AGA khan 92, dan Eko Prawoto dengan Ngibikannya juga menjadi nominasi ajang yang sama di tahun kemarin? keduanya tidak mempersoalkan harga, bahkan tanpa berpikir besar kecilnya fee yang akan diterima. Mbah Mangun dan Pak Eko berfikir bahwa Arsitektur harus membawa kontribusi positif bagi kehidupan disekitarnya. bahkan untuk kaum marjinal yang hidup dibawah jembatan gondolayu pun, mereka berhak untuk mendapat hak indahnya Arsitektur. Bukan tentang standar fee. Memang standar fee bisa menjamin seorang arsitek memberi kontribusi positif untuk semua kalangan???

Kembali ke kasus Udin, saya hanya menjawab desain tumahnya sebagai pengabdian profesi, saya akan tambahkan bahwa :
1. Saya bukan arsitek, saya adalah [hidup] saya.
2. Hidup adalah cinta
3. Berarsitekturlah untuk cinta dan kehidupan
4. Arsitektur untuk semua
(Sing, 2009)



Rumah Syaifudin | Bulus, Purworejo | 2011
- Probono -
Yopie Herdiansyah


Tidak ada komentar: